Namanya Muhammad Afin. Orangnya biasa aja, tidak tampan dan tidak pula jelek. Biasanya kalau pakai celana selalu cingkrang, sunnah Rasul gitu katanya. Kalau berjalan, bicara dan tersenyumpun suka nunduk.
Menurut ke tiga sahabatku dia anaknya biasa aja, sebab aku tahu benar yang bagaimana kriteria cowok idaman mereka: yang berbadan kekarlah, yang bawaaannya motor mega pro, mobil, kalau belanja ke mall bawaanya kartu kredit jadi tinggal digesek. Seperti cowok-cowok di depan kos mereka itu, aku juga suka sama cowok seperti itu. Tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, kalau aku lebih suka sama cowok yang seperti Afin itu., lembut, pekerja keras, dan bersahaja.
Di taman yang asri dengan pepohonannya yang rindang, biasa menjadi tempat tongkrongan kami. Disela pembicaraan kami, tiba-tiba salah satu sahabatku nyeletuk.
“Hi girls, cowok mana yang lagi digebet ni?” Tanya Ira pada kita.
“Kalau aku lagi gebet Roni, cowok tajir asal Medan itu lho” jawab Ayin
“Kalau aku lagi gebet si Bagus, lelaki berbadan kekar idola para wanita..” Jawab Lia
“Kalau kamu ra?” serentak kita bertanya padanya
“Kalau gue, lagi gebet si Toni, secara gitu lho mobil merah yang sering diparkir di depan kelas membuat gue jatuh hati” jawab Ira sambil senyum-senyum sendiri.
“nah, kalau loe Ai cowok mana yang lagi loe gebet?..” Pertanyaan Ira tertuju padaku.
Ku jawab kalau aku suka sama Afin, mendengar itu mereka tertawa.
“Gak salah, Ai? Nggak banget gitu lho!” olok Lia
“Entar loe disuruh pakai jilbab besar, pakai jubah kalau mau kemana-mana tiap hari…?” ejek Ayin.
“Nyadar girl! Siapa yang mau sama cewek penuh dosa..” imbuh Ira.
Saat itu aku hanya nyengir, ku menyakinkan diri saja. Bahwa tidak ada yang tak mungkin di dunia ini. Sapa tau aja Tuhan merubah nasibku dengan mempertemukanku dengan Afin.
Satu nama yang tak pernah hilang dari benakku, Muhammad Afin. Ya.. nama itu yang telah terpatri dalam hatiku. Membuatku seolah dibutakan oleh akhlaknya, sehingga tak bisa ku memandang lelaki tampan selain dirinya.