Jumat, 05 Februari 2010

Di Lorong Itu


Dilorong itu, biasa ku melihat seorang anak kecil dengan pakaian lusuhnya duduk termenung. Setiap jam 5 seperti biasa ku pulang dari sekolah selalu melewati lorong itu. Selalu ada anak berbaju lusuh dan tak ada satu orangpun di sampingnya. Rasa penasaranku mulai muncul, dan bertanya-tanya siapa sebenarnya anak itu?, dan mengapa dia selalu berada di situ?.  
Keesokan harinya ku berniat menghampirinya, ingin kucurahkan semua pertanyaan yang mengganjal di hatiku. Tepat setelah bel berbunyi langsung saja diriku ngacir menuju lorong itu. Dengan langkah tergesah-gesah ku menuju lorong itu, Namun. Ketika mata memandang ke sudut lorong, ada suasana yang berbeda. tak ku temukan sosok anak kecil dengan pakaian lusuhnya di sana. Hal ini semakin membuatku penasaran, belum sempat ku menanyakan tentang dirinya kini dia telah menghilang. Tak berhenti hanya di sini, aku berniat menghampirinya esok hari.

Seharian ku berfikir kemana perginya dia?, apa yang telah terjadi dengannya. Entah mengapa ku tertarik ingin mengetahui sosok anak kecil itu. Dari wajahnya terlihat selintas masalah yang membuat dirinya seperti itu. Setiap hari hanya duduk termenung tengadah ke langit, apakah dia salah satu korban broken home?, “sok tahu diriku ini, kenal aja tidak”. Gumamku dalam hati.
Duduk termenung memikirkan nasib, mungkin itu yang dia pikirkan sehari-harinya di sudut lorong jalan itu. Tanpa memikirkan masa kecilnya yang telah terenggut oleh keadaan. Dua hari yang lalu belum kutemui dirinya. Hari ini ku berniat menghampirinya lagi, mudah-mudahan aja dia ada di sana. Tepat pukul lima sepulang sekolah ku melangkahkan kaki menuju lorong itu. Tapi tak terlihat juga sosok kecil itu, yang terlihat hanyalah segerombolan pengemis kecil yang sedang asyik menghitung duit hasil mengemisnya hari ini.
“aha.. (tiba-tiba ada ide yang muncul), aku Tanya aja sama mereka siapa tahu mereka mengetahui keberadaan anak itu”. Sedikit senang karena menemukan jalan keluar.
Dengan wajah sumringah ku dekati segerombolan pengemis kecil itu.
“Assalamu’alaikum, permisi adik-adik kecil yang manis, kakak mau numpang Tanya boleh?”.
“Wa’alaikum salam” serentak mereka menjawab salamku.
“Boleh kak, tapi goceng duluentar semua pertanyaan kakak pasti kami jawab”. Timpal salah satu anak kecil itu sambil cengir.
“Beres deh, entar kalian semua kak kasih masing-masing goceng”. Jawabku pada mereka, dengan otomatis mereka senang mendengarnya.
“begini adik-adik, kakak lagi nyari anak laki-laki  yang biasanya duduk di sini. Apa kalian tahu?, soalnya udah beberapa hari ini kakak gak lihat dia”.
“Oo… Si arif to, kita semua tahu kak, iya kan teman-teman”. Jawab anak berbaju biru dengan banyak tambalan.
“betul…betul…betul… kita semua tahu di mana dia sekarang”.
“betul kah itu?”. Spontan ku merasa senang
“Terus sekarang dia dimana?”.
“Dia sedang sakit kak, sekarang dia ada di rumah neneknya, di bawah jembatan layang itu rumah neneknya kak”. Jawab anak-anak itu.
“Kalau begitu, terima kasih ya. Ni uang untuk kalian sesuai yang kakak janjikan”. Ku rogoh uang 20’an yang ada di saku bajuku.
“Kakak pamit dulu ya. Assalamu’alaikum.” Sambil pergi meninggalkan segerombolan pengemis kecil itu.
Jembatan layang lumayan jauh dari sekolahku, berhubung cukup jauh ku minta tolong Pak Min supirku untuk mengantarkanku ke sana. Sebelumnya ku mampir ke tempat perbelanjaan, ingin ku membawakan buah untuknya. Dengan di temani pak Min akupun meluncur ke jembatan itu. Jembatan yang biasa di huni oleh sebagian gembel dan pengemis yang tidak memiliki rumah. Pernah pemerintah menertibkan kawasan itu. Tapi tak lama setelah pebertiban itu, para gepengpun kembali membangun rumah di sana. Walau hanya beralaskan karung beras dan beratapkan kerdus bekas.
Sampai di sana, ku mencari gubuk di mana arif tinggal bersama neneknya. Malu bertanya sesat di jembatan, setelah ku bertanya pada orang sekitar. Akhirnya ku temukan tempat tinggal nenek arif, terenyuh hatiku ketika melihat rumah kecil yang terbuat dari kerdus itu. Gubuk yang menurutku tak layak huni. Dari luar terdengar suara batuk seorang nenek.
“Assalamu’alaikum… permisi”. 
“Wa’alaikum salam”. Suara parau terdengar dari dalam gubuk itu.
Tak lama nenek keluar dengan langkah yang tertatih-tatih, seorang nenek tua yang mungkin usianya 60 tahun keatas..
“Oalah… ada tamu to, monggo masuk cah ayu!”. Ajak nenek.
“Nggeh… terima kasih nek, benar ini tempat tinggalnya nenek arif?”. Tanyaku sedikit ragu.
“Nggeh, lha itu Arifnya. Monggo masuk dulu di gubuk nenek yang reot dan jelek ini.” Pinta nenek padaku dengan senyum manis di bibirnya.
            Ku langkahkan kakiku memasuki rumah nenek yang bagiku sangat-sangat tak layak huni, terlihat di sudut rumah seorang bocah tergeletak tak berdaya, tak kuat untak menopangnya tubuhnya. Tubuhku gemetar melihat kondisi Arif, tak terasa air mata keluar dari peraduan dengan sendirinya.
“Ya beginilah kondisi Arif…”. Suara nenek mengejutkanku.
“Semenjak ditinggal oleh kedua orang tuanya, semangat hidupnya agak berkurang. Sebenarnya nenek ingin menyekolahkannya, tapi dengan kondisi seperti ini nenek belum sanggup menyekolahkannya”. Nenek bercerita dengan wajah sedih.
“Maaf sebelumnya nek, kalau boleh tau Arif ditinggal orang tuanya kemana?”.. Tanyaku penasaran.
            Setelah nenek menceritakan panjang lebar tentang orang tua Arif, diriku semakin iba kepadanya. Bocah malang yang menjadi korban kekejaman dunia saat ini, kini tengah terbaring tak berdaya, menanggung beban hidup yang semestinya diumurnya sekarang dia mendapatkan kebahagiaan bermain dengan teman sebayanya dan mendapat pendidikan yang layak. Ku sentuh tubuh anak itu, suhu badannya panas sekali, tubuhnya semakin kurus bagai tengkorak hidup. Tanpa pikir panjang, aku bergegas membawanya ke RS dengan bantuan pak Min.
            Beberapa hari kemudian Arif telah sembuh dari sakit yanjg dideritanya, diapun bisa kembali tersenyum. Dengan bantuan ayahku, Arif bisa bersekolah. Sekarang dia dan neneknya ku boyong ke rumah. Alhamdulillah ku punya orang tua yang baik sekali, mungkin mereka tau aku kesepian di rumah. Sebagai anak tunggal tak mempunyai adik sangat membuatku kesepian. Kini ada Arif dan nenek, jadi rumahku gak akan sepi lagi.
            Arif adalah salah satu korban kejamnya dunia saat ini. Sebenarnya masih banyak Arif-Arif yang lain yang membutuhkan pertolongan. Tapi entah bagiku Arif ini berbeda.

0 komentar: